Seorang teman minta izin untuk membawa seorang kiyai ke tempat saya. Dia memang sering bolak-balik membawa orang sakit ke tempat saya untuk diobati.
Kadang-kadang tiga kali sehari dia bawa keluarga, teman dan kenalan untuk diobati di tempat saya.
Dia ceritakan, kiyai itu masih kerabat dekat suaminya dan memang kiyai cukup terkenal di kalangan tertentu, sering menolong orang dalam berbagai masalah, termasuk penyembuhan.
Saya katakan pada teman itu, apa tidak salah membawa dia pada saya. Kiyai tersebut telah mengobati orang selama puluhan tahun dan pernah mukim selama belasan tahun di Mekkah untuk memperdalam ilmu agama, sementara saya ini anak kemarin sore.
Teman ini kukuh dengan keyakinannya bahwa saya bisa mengobati kiyai itu. Keyakinan itu didasarkan atas kenyataan bahwa setiap orang yang dia bawa semuanya sembuh dengan gampang.
Dia merasa kasihan pada kiyai itu, karena di rumahnya tidak bangun-bangun, dudukpun tidak kuat, sakitnya berat. Yang sangat dia khawatirkan, kiyai tersebut takut mati dan menurut dia harus ditolong.
Saya tidak bisa menolak lagi, akhirnya saya iyakan saja.
Saya bersama keluarga hampir selesai shalat magrib ketika mereka tiba. Si kiyai dimintanya duduk sendirian di ruang tamu, sementara dia langsung ke belakang untuk wudhu.
Tiba-tiba saya dengar kiyai teriak ketakutan. Habis shalat langsung saya dekati kiyai itu dan menanyakan apa yang terjadi. Saya lihat dia ketakutan, kedua kakinya diangkat keatas kursi. Malah dia balik tanya saya sambil menunjuk ke kucing jantan yang ada di teras rumah: “ Kucing itu jin apa kucing biasa “. Saya yakinkan : “ Bukan jin “.
“ Kenapa menerkam kaki saya “, tanyanya lagi masih dengan perasaan takut dan tidak percaya dengan penjelasan saya.
Saya jadi geli, kemudian saya terangkan bahwa kucing itu milik kami, bukan jin, kucing biasa. Yang diterkamnya bukan kaki kiyai, tetapi cecak yang ada dekat kaki kiyai. Cecak itu bersembunyi dibawah kursi mengintai nyamuk yang menggigit kaki kiyai.
Setelah penjejelasan itu baru dia merasa lega, tetapi orang tua itu terlihat merasa malu.
Teman yang mengantar tadi heran melihat kiyai bisa shalat berdiri di rumah saya, sementara di rumahnya sendiri hanya bisa shalat duduk.
Setelah duduk berhadapan dengan kiyai, saya tidak tega menanyakan dan menjelaskan tentang penyakitnya dihadapan orang lain, karena saya hormati dia. Saya hanya membacakan beberapa ayat Al Qur’an.
Tiba-tiba kiyai itu bicara :” Anak muda ini tahu penyakit saya “.
Teman yang mengantar melongo keheranan, bagaimana bisa terjadi kiyai bicara seperti itu, padahal saya belum menerangkan dan menjelaskan tentang penyakitnya.
Kiyaipun menjalani terapi seperti yang saya minya dengan sungguh-sungguh, berdo’a dengan khusu’, minum air yang saya do’akan. Dia langsung merasa enak.
Beberapa hari kemudian, kiyai minta diantar lagi ke tempat saya. Kali ini dia bawa catatan, minta petunjuk pada saya, ayat-ayat mana lagi yang perlu dia dalami. Saya berikan beberapa ayat Al Qur’an lagi. Saya larang dia untuk membuat rajahan, zimat, izm dan melarang mengisi cincin dan segala macam benda dengan kekuatan apapun. Tetapi dia mendebat saya bahwa apa yang dia lakukan itu atas dasar apa yang dipelajarinya dari kitab ( dia tidak sebutkan judulnya ) yang dia beli sangat mahal di Mekkah.
Tetapi dia jadi melongo begitu saya tebak bagian-bagian yang mendasar isi kitabnnya.
Saya tegaskan pada dia, bakar kitab itu, termasuk zimat dan izm yang ada di rumahnya.
Untuk memperkuat permintaan tadi, saya menafsir dan menta’wil salah satu ayat surah Al Fatihah.
Mengingat saya tidak bisa bahasa Arab, saya minta kiyai tersebut menegur dan meluruskan kalau saya salah dalam menafsir dan menta’wil. Malah dia menjawab : “ Anak muda ini yang pantas jadi kiyai, saya malu jadi kiyai “.
Setelah mendngar penjelasan saya, dia mengaku teringat gurunya sewaktu dia belajar di Masjidil Haram di Mekkah. Ternyata gurunya itu paman saya, saudara sepupu bapak saya. Memang paman saya itu mukim di Mekkah sejak muda. Setelah selesai belajar pada salah seorang syeh di Masjidil Haram, dia atas restu syehnya membuka kelompok pengajaran seperti syehnya di Masjidil Haram, muridnya dari berbagai bangsa termasuk dari Arab Saudi.
Kiyai tadi sering menelpon saya minta dido’akan terus, sampai akhirnya dia sembuh.
TOP SELLING BUKU TERAPI ALIF
No comments:
Post a Comment